Awal bulan Maret 2012, hamparan sawah di Desa Gumelem Kulon dan Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih kelihatan hijau. Itu artinya masyarakat disana belum ada kesibukan untuk memanen padi.
Dalam suasana seperti itu masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk membatik. Menurut penduduk setempat, kegiatan seperti itu sudah rutin dilakukan oleh kaum perempuan secara turun-temurun sebagai pekerjaan sampingan selain sebagai petani dan buruh tani.
Dalam suasana seperti itu masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk membatik. Menurut penduduk setempat, kegiatan seperti itu sudah rutin dilakukan oleh kaum perempuan secara turun-temurun sebagai pekerjaan sampingan selain sebagai petani dan buruh tani.
Mu’minah (81 th) dari Desa Gumelem Kulon termasuk salah satu dari sekian banyak ibu rumah tangga yang tetap eksis mempertahankan keberadaan batik tulis “Gumelem” di Banjarnegara. Melestarikan seni adiluhung nenek moyangnya, adalah alasan paling tepat ia mempertahankan seni rupa dua dimensional itu.
Ditemui di rumah kediamannya yang nampak sederhana itu Mu’minah kelihatan sedang sibuk melakukan aktifitas seperti hari-hari biasanya sebagai seorang pembatik. Tangan keriput seorang ibu dengan 10 anak, 22 cucu dan 9 cicit itu sepertinya tak mengenal lelah mengayunkan canting di atas kain putih tanpa pola.
Kami sudah terlalu cinta dengan yang namanya batik, seni itu indah dan memberikan manfaat banyak bagi kehidupan masyarakat, ucap Mu’minah mengawali bincang-bincangnya dengan penjaga gawang blog ini.
Menurut Mu’minah, karya seni dua dimensional seperti batik tulis tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki bakat seni. “Sinten mawon saged mbatik sing penting onten niat”, ucap Mu’minah dalam bahasa Banyumasan yang kurang lebihnya adalah “Siapa saja bisa mewujudkan gagasan kreatifitas itu asalkan ada kemauan keras dan didukung dengan pengetahuan tentang ilmu batik maka setiap orang bisa melakukannya”.
Perajin batik yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan Pegawai Negeri Sipil itu mengaku mulai membatik sejak masih jaman penjajahan Jepang, waktu itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR).
Adapun keahlian dalam mengekspresikan gagasan estetika yang mengandung seni budaya itu tidak di peroleh dari hasil pendidikan seni di bangku sekolah melainkan hasil transferan dari orang tuanya Ny. Satem (almarhumah) yang juga sebagai pembatik. Menurut Mu’minah, batik tulis di Gumelem, sudah ada sejak zaman kademangan yakni setelah perang Diponegoro.
Mu’minah memang sudah tidak muda lagi, meski begitu ia tidak mau berpangku tangan mengandalkan belas kasihan dari anak-anaknya. Dalam sisa hidupnya ia akan terus berusaha mengabdikan dirinya dalam dunia seni dua dimensional atau batik tulis, katanya.
Menurut Mu’minah, masa keemasan “Batik Gumelem” beberapa puluh tahun lalu pernah mengalami kemunduran bersamaan dengan adanya perubahan status Kedemangan Gumelem. Melunturnya nilai-nilai sakral dalam kehidupan masyarakat sehari-hari juga menambah suramnya dunia batik di daerah itu.
Namun mulai tahun 2004, nama Gumelem menjadi sering disebut-sebut oleh banyak orang menyusul adanya Surat Edaran Pemerintah Kabupaten Banjarnegara tentang penggunaan “Batik Tulis Gumelem” bagi semua Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Kegembiraan para perajin batik nampaknya semakin sumringah setelah sebuah badan dunia (Unesco) mengakui keberadaan “Batik Indonesia” pada tahun 2009. Sejak itu pula “Batik Tulis Gumelem” mulai dikenal oleh banyak kalangan, tidak hanya di daerah Banjarnegara sendiri, tetapi mulai dikenal pula oleh daerah lain.
Mu’minah, mengembangkan batik secara mandiri baru sekitar dua tahun terakhir ini, dengan modal pinjaman dari PNPM sebesar Rp 1.000.000,-. Sebelumnya ia hanya sebagai tenaga pembatik pada pengusaha lain di Gumelen Kulon.
Dalam galerinya yang terbuat dari bahan bambu, Mu’minah tidak bekerja sendirian, tetapi dibantu oleh 15 orang yang semuanya ibu rumah tangga. Setiap bulannya Mu’minah dibantu oleh seorang anaknya Misriyah (37 th) dan 15 orang pembatik lainnya mampu menghasilkan antara 50 sampai 60 lembar batik tulis murni.
Kisaran harganya dipatok antara Rp 180 ribu hingga Rp 350 ribu/lembar tergantung bahan baku yang digunakan dan tingkat kesulitannya. Dari hasil karyanya itu, sebagian besar untuk memenuhi pasar lokal Banjarnegara dan Purbalingga.
Sambil terus mengayunkan cantingnnya di atas kain putih, Mu’minah dengan wajah yang masih menyisakan kecantikannya menuturkan tentang keluhan yang menyangkut permodalan. Selama menjadi seorang pembatik, Mu’minah sering kebingungan memperoleh modal untuk membeli bahan baku kain dan obat-obatan di Sokaraja. Ia baru bisa membeli bahan baku jika hasil karyanya sudah laku, katanya.
Menyinggung tentang proses pembuatan kain batik, secara singkat Mu’minah menjelaskan bahwa membatik adalah menuliskan malam yang dicairkan di atas kompor pada kain yang sudah dipola sebelumnya dengan menggunakan canting.
Kain yang sudah selesai ditulis itu kemudian diberi warna dengan jalan dicelup. Proses pencelupan bisa berulang-ulang tergantung jumlah warna yang dikehendaki. Maka jangan kaget jika satu lembar kain batik waktu yang dibutuhkan bisa mencapai satu sampai dua minggu minggu, sedangkan untuk kain batik yang halus bisa mencapai setengah sampai satu bulan.
Motif batik Gumelem sebagian besar diambilkan dari alam pedesaan, seperti motif Lumbon, Kopi Pecah, Pring Sedapur, Pring Setetek, Parang Cendol, cebong kumpul dan masih banyak sekali motif-motif alam pedesaan lainnya. (s.bag)
0 komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.