Beda zaman beda pula tokohnya. Jika tokoh-tokoh
pejuang wanita masa lalu berjuang dengan cara menimba ilmu agar bisa sejajar
dengan kaum laki-laki, menulis buku
untuk mengungkapkan cita-cita dan obesisinya, bahkan menenteng senjata untuk
turut serta memperjuangkan kemerdekaan, maka wanita masa kini memiliki caranya
sendiri.
Sebutlah
Mubayyinah, wanita kelahiran asli Banjarnegara, 4 Mei 1954 ini belum banyak
dikenal masyarakat Banjarnegara. Padahal, lebih dari sebelas negara pernah
mengirimkan perwakilan negaranya untuk belajar pertanian organik kepadanya.
Terakhir, perwakilan dari Negara Vietnam dan Myanmar mengunjunginya pada
tanggal 25-27 April lalu.
Di
tengah gempuran zaman globalisasi yang menyeret masyarakat Banjarnegara,
khususnya generasi muda di Desa Merden untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar,
Mubayyinah malah lebih tertarik untuk mempertahankan profesi kebanggaan orang
tuanya sebagai petani.
Berawal
dari keinginannya untuk memperbaiki lahan peninggalan orangtuanya yang dulu di
eskplotasi secara kimiawi untuk menyukseskan program revolusi hijau, ia pun
mempelajari pertanian organik secara otodidak mulai tahun 2007. Di atas sawah
seluas 4 hektar yang ia miliki ia pun mulai meregenerasi lahan yang sebelumnya telah banyak di cemari
bahan kimia dan sintetis dalam pengelolaannya. Cara yang ia pakai adalah dengan
menggunakan mikroba yang berasal dari bahwa pohon bambu.
“Alat
bantunya berupa nasi pera basi yang dibiarkan berkembang menjadi mikroba di
bahwa pohon bambu. Mikroba itu kemudian difermentasi dan dipadukan dengan gula
serta bekatul,” ungkapnya. Formula itulah yang di pakainya untuk merecovery lahan atau sawah yang sudah
rusak .
“Dengan
cara ini di jamin dalam waktu 2-3 musim tanam lahan yang rusak bisa kembali
bersih, “tambahnya. Bahkan, menurutnya lahan yang sudah rusak parah pun dalam
waktu maksimal 3 tahun bisa pulih dari senyawa kimia dengan cara tersebut.
Setelah sawahnya
kembali bersih dari senyawa kimia, ia mulai menanam berbagai varietas padi
lokal di sawahnya . “Beberapa di antaranya sintanur ,mentik wangi, mentik susu,
pandan wangi, sari wangi, padii hitam dan Sri Wulan,” ujarnya
Alasannya
mengembangkan jenis padi lokal ini adalah karena varietas tersebut sudah hampir
punah dan bahkan sudah mulai jarang di temukan benihnya.“Upaya ini saya lakukan
untuk menguri-uri vaeritas lokal supaya tidak punah,” katanya.
Selain
itu, ia menambahkan, padi lokalnya mempunyai sifat unggul tertentu sebagai
ciri, misalnya warnanya hitam, merah, baunya
wangi, rasanya pulen dan dijamin kaya akan vitamin.
“Misalnya
mentik wangi dan mentik susu yang rasanya enak, pulen kaya vitamin dan sangat aman
juga disarankan untuk di konsumsi penderita diabetes,” ujarnya.
Selain
padi lokal, saat ini ia sedang mengembangkan varietas lain yaitu jagung jali
dan kacang tanah. Sedangkan untuk Tanaman Obat Keluarga (TOGA) yang dia kembangkan
di pekarangan rumahnya antara lain buah naga, jeruk nipis, jahe, kunyit, keji
beling, kumis kucing, sambiloto, dan cimplukan. Kesemuanya ia kembangkan dengan
pupuk alami secara organik tanpa bahan kimia sehingga di jamin aman dan
menyehatkan untuk di konsumsi .
Sementara
itu beberapa ternak yang ia kembangkan pula diantaranya berbagai jenis ikan, kambing dan
ayam. Dari ternak itulah dia mendapatkan berbagai pupuk alami untuk tanamannya
.
“Pupuk
alami biasanya saya dapatkan dari urine, feses, empedu, rumen, darah hewan juga
nutrisi telur dan ikan,” tambahnya.
Upayanya
untuk terus mempertahankan pertanian organik ini terus berjalan hingga saat ini
sejalan dengan obsesinya untuk menjadikan rumahnya sebagai pesantren pertanian.
Untuk mengukuhkan niatnya tersebut, ia pun menamakan kelompok tani binaannya
dengan label “ISTIQOMAH”. Nama ini merupakan singkatan yang sekaligus harapan
darinya yaitu Intensifikasi Sistem Tani Islami Kualitas Organik Mandiri, Alami,
dan Humanis.
“Maksudnya
saya ingin petani pada akhirnya bisa mandiri, memiliki daya tawar yang tinggi
di pasar karena kualitas hasil taninya tanpa harus merugikan lingkungan
sosialnya,” terangnya.
Untuk
menambah ilmu dan memperluas informasi serta jaringannya, ibu dari 3 anak yang
semuanya kuliah di ITB ini juga bergabung dengan Aliansi Petani Indonesia
Perempuan. Ilmu yang ia dapat selalu terbuka untuk dibagikan ke siapa saja yang
membutuhkannya. Bahkan meski masih sedikit minat dan kesadaran para petani
untuk bertani secara organik, setiap Sabtu di Gazebo depan rumahnya, sambil
mengajar mengaji, ia membagi ilmunya tersebut kepada siapa saja yang datang..
“Harapannya meski tidak
bisa instan, saya ingin kesadaran petani untuk bertani secara baik, benar, dan
menyehatkan bisa dimiliki oleh setiap petani. Minimal oleh lingkungan terdekat
saya dulu. Meski pertanian organik perlu keuletan dan kesabaran, tapi insya
Allah berkah. Karena sesungguhnya, sejengkal tanah yang diterlantarkan akan
menuntut balas di akherat nanti,” pungkasnya. (s.bag)
0 komentar:
Posting Komentar