Jumat, 31 Mei 2013

Mubayinah, S.Ag, Pakar Pupuk Organik dari Banjarnegara

Beda  zaman beda pula tokohnya. Jika tokoh-tokoh pejuang wanita masa lalu berjuang dengan cara menimba ilmu agar bisa sejajar dengan  kaum laki-laki, menulis buku untuk mengungkapkan cita-cita dan obesisinya, bahkan menenteng senjata untuk turut serta memperjuangkan kemerdekaan, maka wanita masa kini memiliki caranya sendiri.
Sebutlah Mubayyinah, wanita kelahiran asli Banjarnegara, 4 Mei 1954 ini belum banyak dikenal masyarakat Banjarnegara. Padahal, lebih dari sebelas negara pernah mengirimkan perwakilan negaranya untuk belajar pertanian organik kepadanya. Terakhir, perwakilan dari Negara Vietnam dan Myanmar mengunjunginya pada tanggal 25-27 April lalu.
Di tengah gempuran zaman globalisasi yang menyeret masyarakat Banjarnegara, khususnya generasi muda di Desa Merden untuk  mencari pekerjaan di kota-kota besar, Mubayyinah malah lebih tertarik untuk mempertahankan profesi kebanggaan orang tuanya sebagai petani.
Berawal dari keinginannya untuk memperbaiki lahan peninggalan orangtuanya yang dulu di eskplotasi secara kimiawi untuk menyukseskan program revolusi hijau, ia pun mempelajari pertanian organik secara otodidak mulai tahun 2007. Di atas sawah seluas 4 hektar yang ia miliki ia pun mulai meregenerasi  lahan yang sebelumnya telah banyak di cemari bahan kimia dan sintetis dalam pengelolaannya. Cara yang ia pakai adalah dengan menggunakan mikroba yang berasal dari bahwa pohon bambu.
“Alat bantunya berupa nasi pera basi yang dibiarkan berkembang menjadi mikroba di bahwa pohon bambu. Mikroba itu kemudian difermentasi dan dipadukan dengan gula serta bekatul,” ungkapnya. Formula itulah yang di pakainya untuk merecovery lahan atau sawah yang sudah rusak .
“Dengan cara ini di jamin dalam waktu 2-3 musim tanam lahan yang rusak bisa kembali bersih, “tambahnya. Bahkan, menurutnya lahan yang sudah rusak parah pun dalam waktu maksimal 3 tahun bisa pulih dari senyawa kimia dengan cara tersebut.
Setelah sawahnya kembali bersih dari senyawa kimia, ia mulai menanam berbagai varietas padi lokal di sawahnya . “Beberapa di antaranya sintanur ,mentik wangi, mentik susu, pandan wangi, sari wangi, padii hitam dan Sri Wulan,” ujarnya
Alasannya mengembangkan jenis padi lokal ini adalah karena varietas tersebut sudah hampir punah dan bahkan sudah mulai jarang di temukan benihnya.“Upaya ini saya lakukan untuk menguri-uri vaeritas lokal supaya tidak punah,” katanya.
Selain itu, ia menambahkan, padi lokalnya mempunyai sifat unggul tertentu sebagai ciri, misalnya warnanya  hitam, merah, baunya wangi, rasanya pulen dan dijamin kaya akan vitamin.
“Misalnya mentik wangi dan mentik susu yang rasanya enak, pulen kaya vitamin dan sangat aman juga disarankan untuk di konsumsi penderita diabetes,” ujarnya.
Selain padi lokal, saat ini ia sedang mengembangkan varietas lain yaitu jagung jali dan kacang tanah. Sedangkan untuk Tanaman Obat Keluarga (TOGA) yang dia kembangkan di pekarangan rumahnya antara lain buah naga, jeruk nipis, jahe, kunyit, keji beling, kumis kucing, sambiloto, dan cimplukan. Kesemuanya ia kembangkan dengan pupuk alami secara organik tanpa bahan kimia sehingga di jamin aman dan menyehatkan untuk di konsumsi .
Sementara itu beberapa ternak yang ia kembangkan pula  diantaranya berbagai jenis ikan, kambing dan ayam. Dari ternak itulah dia mendapatkan berbagai pupuk alami untuk tanamannya .
“Pupuk alami biasanya saya dapatkan dari urine, feses, empedu, rumen, darah hewan juga nutrisi telur dan ikan,” tambahnya.
Upayanya untuk terus mempertahankan pertanian organik ini terus berjalan hingga saat ini sejalan dengan obsesinya untuk menjadikan rumahnya sebagai pesantren pertanian. Untuk mengukuhkan niatnya tersebut, ia pun menamakan kelompok tani binaannya dengan label “ISTIQOMAH”. Nama ini merupakan singkatan yang sekaligus harapan darinya yaitu Intensifikasi Sistem Tani Islami Kualitas Organik Mandiri, Alami, dan Humanis.
“Maksudnya saya ingin petani pada akhirnya bisa mandiri, memiliki daya tawar yang tinggi di pasar karena kualitas hasil taninya tanpa harus merugikan lingkungan sosialnya,” terangnya.
Untuk menambah ilmu dan memperluas informasi serta jaringannya, ibu dari 3 anak yang semuanya kuliah di ITB ini juga bergabung dengan Aliansi Petani Indonesia Perempuan. Ilmu yang ia dapat selalu terbuka untuk dibagikan ke siapa saja yang membutuhkannya. Bahkan meski masih sedikit minat dan kesadaran para petani untuk bertani secara organik, setiap Sabtu di Gazebo depan rumahnya, sambil mengajar mengaji, ia membagi ilmunya tersebut kepada siapa saja yang datang..
“Harapannya meski tidak bisa instan, saya ingin kesadaran petani untuk bertani secara baik, benar, dan menyehatkan bisa dimiliki oleh setiap petani. Minimal oleh lingkungan terdekat saya dulu. Meski pertanian organik perlu keuletan dan kesabaran, tapi insya Allah berkah. Karena sesungguhnya, sejengkal tanah yang diterlantarkan akan menuntut balas di akherat nanti,” pungkasnya. (s.bag)

0 komentar:

Posting Komentar