Pagi itu mentari sudah
mulai muncul dari ufuk timur,.Adalah waktu yang paling dinanti-nantikan oleh
setiap insan untuk melakukan aktifitas. Seperti di tempat-tempat lain, di
Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara, pagi
itu aktifitas juga mulai dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat.
Tak ketinggalan dengan
Imam Sobirin (13 th), datangnya mentari pagi juga menjadi kehangatan tersendiri
untuk melakukan aktifitas. Sambil berdoa meminta keberkahan dari sang pencipta,
Sobir demikian ia biasa dipanggil duduk di kursi kecil (jengkok) sambil memilah-milah
ijuk sebagai bahan baku untuk membuat sapu.
Rumahnya yang berukuran 36 meter persegi nampaknya juga masih jauh dari kesan layak yang terbagi menjadi
1 kamar tidur, ruang tamu yang dipenuhi bahan baku sapu berupa ijuk dan bambu
serta dapur yang masih menggunakan tungku kayu.Aktifitas Sobir sebagai
pembuat sapu ijuk sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir ini, ia sendiri
merupakan anak kedua dari pasangan suami istri Misyadi dan Aniyah yang
berdomisili di RT. 06 RW. III, Kelurahan Karangtengah.
Menurut pengakuan yang
tulus, Sobir sebenarnya ingin melanjutkan sekolahnya di SMP demi masa depan nun
jauh disana. Dengan sekolah, saya bisa menentukan arah tujuan untuk mencapai
sukses, tetapi orang tua saya tidak mampu membiayai, ucap Sobir mengawali
perbincangannya.
Sobir biasa melakukan
aktifitas membantu kedua orang tuanya membuat sapu ijuk mulai pukul 07.30
hinggga senja hari. Tidak ada target berapa jumlah sapu yang diproduksi setiap
harinya, karena bahan baku dibeli dengan modal seadanya. Yang pasti hari itu
terdapat sekitar 40 buah sapu siap untuk dijual.
Bahan baku ijuk
dibelikan ayahnya Misyadi di daerah Gunungjati dengan harga Rp 5.000,-/kg. Ayah
hanya membeli secukupnya untuk pembuatan hari itu juga, tetapi jika sapunya
sudah laku Misyadi bisa membeli dalam jumlah yang cukup banyak. Kalau belum
laku, ya terpaksa tidak membeli ijuk, ucap Sobir.
Menurut Sobir, setiap 1
kg ijuk, setelah diurai bisa untuk membuat sapu sebanyak tiga buah.
Pembuatannya masih tradisional tanpa totok atau kepala sapu yang biasanya
terbuat dari plastik atau kayu, tetapi cukup diikat dengan tali dari bahan baku
ijuk pula, sedangkan bambunya yang digunakan sebagai tangkai sapu di beli dari
daerah sekitar.
Setelah sapu terkumpul
banyak kemudian dipasarkan ayahnya di beberapa daerah seperti Pekalongan,
Karangkobar dan Wonosobo dengan harga Rp 3.500,- di tingkat tengkulak dan Rp
4.000,- jika dijual dengan harga eceran.
Membuat sapu adalah
ketrampilan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, ucap Misyadi ayah Sobir.
Sepuluh tahun lebih keluarga kami menggantungkan hidupnya dengan membuat sapu. Keuntungan
yang diperoleh jauh dari cukup sehingga saya tidak mampu menyekolahkan Sobir di
SMP.
Pemasaran sapu masih
tetap bagus, sambung Misyadi, tetapi kami tidak bisa mencukupi permintaan pasar
karena masih terbatasnya dana yang dimiliki untuk membeli bahan baku. Karena
itu ia sangat membutuhkan perhatian dari pihak-pihak tertentu yang bisa
menggulirkan dana bantuan. Selama ini keluarga Misyadi belum pernah mendapatkan
bantuan apalagi pelatihan pembuatan sapu ijuk, katanya.
Ayah saya biasa membeli ijuk
sendiri di daerah Gunungjati dengan harga perkilogramnya mencapai Rp 5.000,-
jika membayarnya belakangan, sedangkan kalau membayar tunai harganya paling cuma
Rp 4.000,-. Untuk setiap 1 buah sapu keluarga Misyadi hanya memperoleh
keuntungan sebesar Rp 1.000,-. Total pendapatan setiap harinya Rp 40.000,-
itupun kalau lancar.
Meski dengan penghasilan
pas-pasan, Misyadi masih merasa bersyukur karena semua keluarganya diberikan
kesehatan. Adapun persoalan yang selama ini menjadi pemikiran adalah tentang
anaknya yakni Sobir yang belum bisa melanjutkan di bangku SMP. Ia sangat
prihatin jika Sobir tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal memiliki prestasi
yang bagus sebagai peringkat II di kelasnya.
Kakak Sobir yang sudah
berusia 21 tahun kini merantau di luar daerah sebagai buruh konveksi, sedangkan
adiknya perempuan yang baru berusia 5 tahun juga sudah mulai ingin sekolah di
PAUD. Penghasilan yang jauh dari cukup, jelas keluarga kami tidak mampu untuk
menyekolahkan anaknya, ucap Misyadi.
Bagaimana bisa
menyekolahkan anak, sedangkan penghasilan untuk setiap satu buah sapu paling-paling
hanya sekitar Rp 1.000,- itupun tidak pasti, katanya. (s.bag).
sebuah potret kehidupan yang cukup ironis
BalasHapusAlhamdulillah, mulai tahun pelajaran 2012/2013 Sobir bisa sekolah lagi dengan mengumpulkan uang hasil penjualan sapu. Adakah orang lain yang peduli membantunya ?
BalasHapusMasih banyak yg peduli mas, bagi contact nya mas. Saya Ingin SHARING MENGENAI BANJARNEGARA. Atau SMS ke 087808335628 dengan saya efendi. Thanks
Hapus.