Jumat, 18 Mei 2012

Sobir, Pembuat Sapu Ijuk yang Tetap Ingin Sekolah


Pagi itu mentari sudah mulai muncul dari ufuk timur,.Adalah waktu yang paling dinanti-nantikan oleh setiap insan untuk melakukan aktifitas. Seperti di tempat-tempat lain, di Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara, pagi itu aktifitas juga mulai dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat.
Tak ketinggalan dengan Imam Sobirin (13 th), datangnya mentari pagi juga menjadi kehangatan tersendiri untuk melakukan aktifitas. Sambil berdoa meminta keberkahan dari sang pencipta, Sobir demikian ia biasa dipanggil duduk di kursi kecil (jengkok) sambil memilah-milah ijuk sebagai bahan baku untuk membuat sapu.
Rumahnya yang berukuran 36 meter persegi nampaknya juga masih jauh dari kesan layak yang terbagi menjadi 1 kamar tidur, ruang tamu yang dipenuhi bahan baku sapu berupa ijuk dan bambu serta dapur yang masih menggunakan tungku kayu.Aktifitas Sobir sebagai pembuat sapu ijuk sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir ini, ia sendiri merupakan anak kedua dari pasangan suami istri Misyadi dan Aniyah yang berdomisili di RT. 06 RW. III, Kelurahan Karangtengah.
Menurut pengakuan yang tulus, Sobir sebenarnya ingin melanjutkan sekolahnya di SMP demi masa depan nun jauh disana. Dengan sekolah, saya bisa menentukan arah tujuan untuk mencapai sukses, tetapi orang tua saya tidak mampu membiayai, ucap Sobir mengawali perbincangannya.
Sobir biasa melakukan aktifitas membantu kedua orang tuanya membuat sapu ijuk mulai pukul 07.30 hinggga senja hari. Tidak ada target berapa jumlah sapu yang diproduksi setiap harinya, karena bahan baku dibeli dengan modal seadanya. Yang pasti hari itu terdapat sekitar 40 buah sapu siap untuk dijual.
Bahan baku ijuk dibelikan ayahnya Misyadi di daerah Gunungjati dengan harga Rp 5.000,-/kg. Ayah hanya membeli secukupnya untuk pembuatan hari itu juga, tetapi jika sapunya sudah laku Misyadi bisa membeli dalam jumlah yang cukup banyak. Kalau belum laku, ya terpaksa tidak membeli ijuk, ucap Sobir.
Menurut Sobir, setiap 1 kg ijuk, setelah diurai bisa untuk membuat sapu sebanyak tiga buah. Pembuatannya masih tradisional tanpa totok atau kepala sapu yang biasanya terbuat dari plastik atau kayu, tetapi cukup diikat dengan tali dari bahan baku ijuk pula, sedangkan bambunya yang digunakan sebagai tangkai sapu di beli dari daerah sekitar.
Setelah sapu terkumpul banyak kemudian dipasarkan ayahnya di beberapa daerah seperti Pekalongan, Karangkobar dan Wonosobo dengan harga Rp 3.500,- di tingkat tengkulak dan Rp 4.000,- jika dijual dengan harga eceran.
Membuat sapu adalah ketrampilan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, ucap Misyadi ayah Sobir. Sepuluh tahun lebih keluarga kami menggantungkan hidupnya dengan membuat sapu. Keuntungan yang diperoleh jauh dari cukup sehingga saya tidak mampu menyekolahkan Sobir di SMP.
Pemasaran sapu masih tetap bagus, sambung Misyadi, tetapi kami tidak bisa mencukupi permintaan pasar karena masih terbatasnya dana yang dimiliki untuk membeli bahan baku. Karena itu ia sangat membutuhkan perhatian dari pihak-pihak tertentu yang bisa menggulirkan dana bantuan. Selama ini keluarga Misyadi belum pernah mendapatkan bantuan apalagi pelatihan pembuatan sapu ijuk, katanya.
Ayah saya biasa membeli ijuk sendiri di daerah Gunungjati dengan harga perkilogramnya mencapai Rp 5.000,- jika membayarnya belakangan, sedangkan kalau membayar tunai harganya paling cuma Rp 4.000,-. Untuk setiap 1 buah sapu keluarga Misyadi hanya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.000,-. Total pendapatan setiap harinya Rp 40.000,- itupun kalau lancar.
Meski dengan penghasilan pas-pasan, Misyadi masih merasa bersyukur karena semua keluarganya diberikan kesehatan. Adapun persoalan yang selama ini menjadi pemikiran adalah tentang anaknya yakni Sobir yang belum bisa melanjutkan di bangku SMP. Ia sangat prihatin jika Sobir tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal memiliki prestasi yang bagus sebagai peringkat II di kelasnya.
Kakak Sobir yang sudah berusia 21 tahun kini merantau di luar daerah sebagai buruh konveksi, sedangkan adiknya perempuan yang baru berusia 5 tahun juga sudah mulai ingin sekolah di PAUD. Penghasilan yang jauh dari cukup, jelas keluarga kami tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, ucap Misyadi.
Bagaimana bisa menyekolahkan anak, sedangkan penghasilan untuk setiap satu buah sapu paling-paling hanya sekitar Rp 1.000,- itupun tidak pasti, katanya. (s.bag).

3 komentar:

  1. sebuah potret kehidupan yang cukup ironis

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, mulai tahun pelajaran 2012/2013 Sobir bisa sekolah lagi dengan mengumpulkan uang hasil penjualan sapu. Adakah orang lain yang peduli membantunya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih banyak yg peduli mas, bagi contact nya mas. Saya Ingin SHARING MENGENAI BANJARNEGARA. Atau SMS ke 087808335628 dengan saya efendi. Thanks






      .

      Hapus